Selasa, 30 Oktober 2012

Sri Mulyani Diperiksa BPK Terkait Proyek Hambalang


     Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Dradjad H. Wibowo meminta bekas Menteri Keuangan RI yang kini menjabat sebagai Managing Director World Bank, Sri Mulyani untuk segera dipanggil oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna memberi kesaksian dalam proses audit investigatif Proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

    Pernyataan Dradjad itu dilatarbelakangi dari prinsip bahwa aturan main kontrak tahun jamak itu berawal di Keppres No.80/2003 pasal 30 ayat 8. Isinya menyatakan kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Provinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.

   Pada 2 Maret 2010, Sri Mulyani Indrayani (SMI) sebagai Menteri Keuangan, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak (Multiyears Contract) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sementara proyek P3SON Hambalang itu sendiri sebenarnya sudah diajukan sebagai kontrak tahun tunggal (single year) pada hanya Rp 275 milyar yang mendapat pengesahan, yaitu Rp 125 milyar dari APBN 2010 dan tambahan Rp 150 miliar melalui APBN-P 2010.

   Dari sisi substansi, sebelum PMK tersebut keluar pada Maret 2010, sebuah proyek tahun tunggal tidak bisa diubah menjadi tahun jamak pada saat proyek tersebut sedang berjalan, kata Dradjad.

   Oleh sebab itu, Dradjad meminta BPK mencari tahu alasan penerbitan PMK itu. Sebab, ada dua kemungkinan PMK sengaja dikeluarkan agar menjadi payung hukum, agar pengubahan kontrak tahun tunggal menjadi tahun jamak dimungkinkan, atau untuk menertibkan proyek tahun jamak.

"Yang bisa menjawab ini tentu Menteri Keuangan yang menerbitkan PMK tersebut dan para pejabat eselonnya," kata Dradjad.

    Sri Mulyani tercatat masih menjabat sebagai Menteri Keuangan saat PMK itu dikeluarkan, dan baru diganti sebagai menteri pada Mei 2010.

   Selain dari sisi substansi, ada juga kemungkinan lain dari sisi rentang waktu keluarnya PMK yang harus didalami BPK pada Sri Mulyani. Dradjad mengatakan, PMK tersebut keluar setelah sertifikat tanah Hambalang dari BPN keluar pada Januari 2010. Situasi saat itu adalah SMI banyak dikejar terkait kasus bailout Bak Century dan desakan politik agar dia mundur dari kursi menteri keuangan semakin kencang.

  "Akhirnya SMI mundur pada Mei 2010. Nah melihat rentang waktunya, saya menduga SMI seperti terpaksa menerbitkan PMK tersebut," tandas Dradjad.

   Sejumlah Sumber di Parlemen sebelumnya sudah menyebutkan bahwa penganggaran multiyears Hambalang menjadi titik penting untuk memahami dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara dalam proyek Hambalang. Dinyatakan bahwa sistem multiyears sengaja dipaksakan demi memberi kepastian anggaran bagi perusahaan pemenang tender proyek Hambalang.

  Menurut terpidana kasus Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin, ada Rp 100 miliar fee proyek Hambalang yang sudah dibagikan. Sebanyak Rp 50 miliar di antaranya dikeluarkan untuk kepentingan Anas Urbaningrum, sebesar Rp 20 miliar untuk Andi Mallarangeng, sebanyak Rp 20 miliar untuk pimpinan Badan Anggaran DPR, dan sisanya Rp 10 miliar untuk sejumlah anggota Komisi X DPR.

  Sementara BPK sendiri dijadwalkan akan menyerahkan laporan audit investigatif Hambalang ke DPR pada 31 Oktober mendatang. Hingga saat ini, belum satupun pihak dari BPK yang menyatakan bahwa Sri Mulyani akan diikutsertakan pertanggungjawabannya dalam proyek itu.

  Berdasarkan dokumen yang beredar di kalangan wartawan baru-baru ini, hanya nama Menteri Keuangan penerus Sri Mulyani, Agus Martowardoyo, dan Wamenkeu Anny Ratnawati yang disebut bertanggung jawab atas dugaan kerugian negara dalam kasus itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar